Tren Produksi Manufaktur Mulai Bergeser Akibat Digitalisasi
Perkembangan pesat teknologi digital mulai menggeser tren produksi industri manufaktur di kawasan Asia, menurut riset terbaru
yang dikeluarkan Boston Consulting Group (BCG). Pergeseran itu terjadi
dari praktek tradisional industri manufaktur Asia ke arah produk khusus
yang sesuai kebutuhan pelanggan.
Lebih mendetail lagi, pergeseran tren mulai terjadi dari praktek tradisional perusahaan-perusahan manufaktur di negara berpendapatan rendah, yang umumnya memproduksi produk-produk yang sudah terstandardisasi demi mencapai skala produksi yang ekonomis ke arah produk-produk khusus yang disesuaikan (customized) dengan kebutuhan pelanggan di lokasi terdekat, secara lebih efektif dan efisien. Hal itu dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi digitalisasi seperti robotik, mesin otomatis, simulasi digital, hingga internet of things (iOT).
Daya saing perekonomian Asia - yang banyak menggantungkan pertumbuhannya pada sektor manufaktur yang mengandalkan upah buruh dan ekspor murah - kemungkinan besar akan tergerus oleh perubahan teknologi dan digitalisasi.
Beberapa perusahaan disebutkan telah menerapkan teknologi seperti itu. Adidas memindahkan beberapa lini produksi khususnya, kembali ke Jerman. Foxconn, yang sebelumnya membuat seluruh produk elektroniknya di China Selatan, kini sudah melakukan perakitan di Meksiko dan berencana membangun industri manufakturnya di AS.
Pergeseran tersebut akan menyebabkan kerugian terutama di banyak negara Asia, yang sejak akhir Perang Dunia II telah menggantungkan perekonomiannya pada model manufaktur tradisional. “Pergeseran itu akan memaksa negara-negara Asia untuk mengubah nilai proposisi mereka saat bersaing memperebutkan investasi manufaktur. Daripada menawarkan diri dengan mengandalkan tenaga kerja murah kepada perusahaan multinasional, negara-negara tersebut harus bersaing meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya,” demikian pernyataan BCG dalam laporannya yang dikutip CNBC.
“Dan mereka harus memposisikan dirinya dengan mengedepankan keunggulan lokasi yang dapat menjangkau pasar-pasar baru yang penting dan meningkatkan efisiensinya dengan memanfaatkan teknologi terkini di setiap titik dalam rantai bisnis,” BCG menambahkan.
Selain perubahan model bisnis sektor manufaktur, tarik ulur kesepakatan perdagangan global yang diwarnai dengan meningkatnya sentimen proteksionistik juga mengancam model ekonomi ekspor Asia. Di banyak negara, termasuk China dan Indonesia, peran ekspor terhadap produk domestik bruto terus menurun dari tahun ke tahun dan diproyeksikan akan makin berkurang.
Keunggulan dari segi biaya yang dinikmati Asia, menurut BCG, juga menurun seiring dengan meningkatnya tingkat upah yang melebihi produktivitas. Kondisi tersebut terlihat pada menyempitnya kesenjangan perbandingan tingkat upah terhadap produktivitas di AS dengan China, Malaysia, dan Thailand.
BCG menyerankan, agar dapat berkembang di lingkungan bisnis yang baru, negara-negara tersebut perlu meningkatkan adopsi teknologi dan mengembangkan industri jasa, yang dapat memberikan pertumbuhan ekonomi.
Sejauh ini, China merupakan negara yang terlihat serius dalam melakukan transasi yang difokuskan untuk mendorong konsumsi domestik. Pertumbuhan PDB China melemah dari 10 persen pada 2010 menjadi sekitar 7 persen pada tahun ini. Namun konsumsi pribadi diproyeksikan akan mencapai US$6,5 triliun per tahun, pada 2020.
Dan kini, menurut BCG, makin banyak negara yang meniru model ekonomi seperti itu. Di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand, kontribusi sektor jasa terhadap PDB juga telah melampaui peran sektor manufaktur.
"Kabar baiknya adalah bahwa sebagian besar wilayah Asia berada pada posisi yang sangat baik untuk mendapatkan keuntungan dari digitalisasi bisnis global dan beralih ke layanan dan konsumsi domestik," kata BCG dalam laporan tersebut. Ditambahkan pula, kelas menengah di kawasan ini - yang juga termasuk di antara negara-negara paling melek digital - adalah target utama industri jasa.
"Kenaikan kemakmuran rumah tangga di Asia menunjukkan bahwa kawasan ini akan terus menjadi pasar pertumbuhan terbesar untuk perawatan kesehatan, pendidikan, layanan keuangan, hiburan dan layanan lainnya," papar BCG.
Revolusi Industri 4.0
Memang tidak bisa dipungkiri, dunia saat ini menghadapi revolusi industri keempat. Revolusi industri pertama ditandai dengan penemuan mesin uap, lalu revolusi industri kedua saat ditemukannya listrik, revolusi industri ketiga ketika dimulainya pemanfaatan robot pengganti tenaga manusia di industri.
Sedangkan revolusi industri 4.0 adalah era digital ketika semua mesin terhubung melalui sistem internet atau cyber system.
Revolusi industri keempat akan membawa banyak dampak sosial dan ekonomi. Negara harus mempersiapkan diri untuk meredam efek negatifnya. "Kita menghadapi revolusi industri keempat. Segala sesuatu akan menuju pada era internet. Apa yang akan terjadi dengan era robotisasi? Bagaimana buruh kita yang tidakk siap dengan teknologi? Mereka akan jadi orang yang kalah. Negara harus bertanggung jawab mempersiapkan mereka," kata Pengusaha nasional Chairul Tanjung, belum lama ini di Jakarta.
Dia memperingatkan, era digital adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, tuntutan zaman, cepat atau lambat pasti terjadi. Negara harus bersiap, akan banyak lapangan kerja yang hilang karena otomasi. Jika tidak ada antisipasi, pengangguran bakal melonjak.
"Sepuluh tahun lagi, UMR di Karawang sudah lebih dari Rp 15 juta. Saya yakin pabrik-pabrik di Karawang kalau itu sudah terjadi akan melakukan robotisasi. Apa yang terjadi kalau kita tidak antisipasi? Itu adalah keniscayaan. Segala sesuatu ini akan jadi berubah," jelas CT.
Dalam era yang baru, persaingan semakin keras. CT menyebut 'the winner takes all', pemenang mengambil semuanya. Jadi akan banyak yang tergilas. "Dengan era teknologi ini, ada fenomena yang perlu diperhatikan. The winner takes all, pemenang selalu mengambil keseluruhan pasar, 10-20 tahun lagi kita menghadapi ini. Sekarang misalnya Google bisa mengambil alih keseluruhan, Yahoo kalah," ia menuturkan.
Semua yang tidak bisa beradaptasi pasti akan kalah. Perusahaan sebesar Yahoo yang pernah jadi raja di masa lalu saja bisa jatuh. "Muncul pesaing baru yang tidak terduga. Dulu kalau kita bicara mobil itu produsennya BMW, Mercedes, dan sebagainya. Sekarang muncul Tesla, Apple dan Google mempersiapkan mobil. Pesaing baru ini siap mengambil alih segala sesuatunya," sambung CT.
Nantinya, toko-toko konvensional akan digilas oleh toko online yang lebih praktis dan mudah diakses dari mana saja. Adaptasi untuk menghadapi persaingan di era internet harus didorong dari sekarang. Kalau tidak, toko-toko di pinggir jalan akan bangkrut dan menimbulkan masalah baru, yaitu lonjakan kemiskinan.
Perlu ada langkah antisipasi untuk menjawab tantangan zaman. "Semakin banyak pekerjaan akan hilang karena diotomasi, orang jadi lebih sedikit diperlukan. Siapkah kita mempersiapkan lapangan kerja baru untuk mereka?" papar CT.(*)
Sumber: klik di sini
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 144 database, klik di sini
Lebih mendetail lagi, pergeseran tren mulai terjadi dari praktek tradisional perusahaan-perusahan manufaktur di negara berpendapatan rendah, yang umumnya memproduksi produk-produk yang sudah terstandardisasi demi mencapai skala produksi yang ekonomis ke arah produk-produk khusus yang disesuaikan (customized) dengan kebutuhan pelanggan di lokasi terdekat, secara lebih efektif dan efisien. Hal itu dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi digitalisasi seperti robotik, mesin otomatis, simulasi digital, hingga internet of things (iOT).
Daya saing perekonomian Asia - yang banyak menggantungkan pertumbuhannya pada sektor manufaktur yang mengandalkan upah buruh dan ekspor murah - kemungkinan besar akan tergerus oleh perubahan teknologi dan digitalisasi.
Beberapa perusahaan disebutkan telah menerapkan teknologi seperti itu. Adidas memindahkan beberapa lini produksi khususnya, kembali ke Jerman. Foxconn, yang sebelumnya membuat seluruh produk elektroniknya di China Selatan, kini sudah melakukan perakitan di Meksiko dan berencana membangun industri manufakturnya di AS.
Pergeseran tersebut akan menyebabkan kerugian terutama di banyak negara Asia, yang sejak akhir Perang Dunia II telah menggantungkan perekonomiannya pada model manufaktur tradisional. “Pergeseran itu akan memaksa negara-negara Asia untuk mengubah nilai proposisi mereka saat bersaing memperebutkan investasi manufaktur. Daripada menawarkan diri dengan mengandalkan tenaga kerja murah kepada perusahaan multinasional, negara-negara tersebut harus bersaing meningkatkan keterampilan tenaga kerjanya,” demikian pernyataan BCG dalam laporannya yang dikutip CNBC.
“Dan mereka harus memposisikan dirinya dengan mengedepankan keunggulan lokasi yang dapat menjangkau pasar-pasar baru yang penting dan meningkatkan efisiensinya dengan memanfaatkan teknologi terkini di setiap titik dalam rantai bisnis,” BCG menambahkan.
Selain perubahan model bisnis sektor manufaktur, tarik ulur kesepakatan perdagangan global yang diwarnai dengan meningkatnya sentimen proteksionistik juga mengancam model ekonomi ekspor Asia. Di banyak negara, termasuk China dan Indonesia, peran ekspor terhadap produk domestik bruto terus menurun dari tahun ke tahun dan diproyeksikan akan makin berkurang.
Keunggulan dari segi biaya yang dinikmati Asia, menurut BCG, juga menurun seiring dengan meningkatnya tingkat upah yang melebihi produktivitas. Kondisi tersebut terlihat pada menyempitnya kesenjangan perbandingan tingkat upah terhadap produktivitas di AS dengan China, Malaysia, dan Thailand.
BCG menyerankan, agar dapat berkembang di lingkungan bisnis yang baru, negara-negara tersebut perlu meningkatkan adopsi teknologi dan mengembangkan industri jasa, yang dapat memberikan pertumbuhan ekonomi.
Sejauh ini, China merupakan negara yang terlihat serius dalam melakukan transasi yang difokuskan untuk mendorong konsumsi domestik. Pertumbuhan PDB China melemah dari 10 persen pada 2010 menjadi sekitar 7 persen pada tahun ini. Namun konsumsi pribadi diproyeksikan akan mencapai US$6,5 triliun per tahun, pada 2020.
Dan kini, menurut BCG, makin banyak negara yang meniru model ekonomi seperti itu. Di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand, kontribusi sektor jasa terhadap PDB juga telah melampaui peran sektor manufaktur.
"Kabar baiknya adalah bahwa sebagian besar wilayah Asia berada pada posisi yang sangat baik untuk mendapatkan keuntungan dari digitalisasi bisnis global dan beralih ke layanan dan konsumsi domestik," kata BCG dalam laporan tersebut. Ditambahkan pula, kelas menengah di kawasan ini - yang juga termasuk di antara negara-negara paling melek digital - adalah target utama industri jasa.
"Kenaikan kemakmuran rumah tangga di Asia menunjukkan bahwa kawasan ini akan terus menjadi pasar pertumbuhan terbesar untuk perawatan kesehatan, pendidikan, layanan keuangan, hiburan dan layanan lainnya," papar BCG.
Revolusi Industri 4.0
Memang tidak bisa dipungkiri, dunia saat ini menghadapi revolusi industri keempat. Revolusi industri pertama ditandai dengan penemuan mesin uap, lalu revolusi industri kedua saat ditemukannya listrik, revolusi industri ketiga ketika dimulainya pemanfaatan robot pengganti tenaga manusia di industri.
Sedangkan revolusi industri 4.0 adalah era digital ketika semua mesin terhubung melalui sistem internet atau cyber system.
Revolusi industri keempat akan membawa banyak dampak sosial dan ekonomi. Negara harus mempersiapkan diri untuk meredam efek negatifnya. "Kita menghadapi revolusi industri keempat. Segala sesuatu akan menuju pada era internet. Apa yang akan terjadi dengan era robotisasi? Bagaimana buruh kita yang tidakk siap dengan teknologi? Mereka akan jadi orang yang kalah. Negara harus bertanggung jawab mempersiapkan mereka," kata Pengusaha nasional Chairul Tanjung, belum lama ini di Jakarta.
Dia memperingatkan, era digital adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, tuntutan zaman, cepat atau lambat pasti terjadi. Negara harus bersiap, akan banyak lapangan kerja yang hilang karena otomasi. Jika tidak ada antisipasi, pengangguran bakal melonjak.
"Sepuluh tahun lagi, UMR di Karawang sudah lebih dari Rp 15 juta. Saya yakin pabrik-pabrik di Karawang kalau itu sudah terjadi akan melakukan robotisasi. Apa yang terjadi kalau kita tidak antisipasi? Itu adalah keniscayaan. Segala sesuatu ini akan jadi berubah," jelas CT.
Dalam era yang baru, persaingan semakin keras. CT menyebut 'the winner takes all', pemenang mengambil semuanya. Jadi akan banyak yang tergilas. "Dengan era teknologi ini, ada fenomena yang perlu diperhatikan. The winner takes all, pemenang selalu mengambil keseluruhan pasar, 10-20 tahun lagi kita menghadapi ini. Sekarang misalnya Google bisa mengambil alih keseluruhan, Yahoo kalah," ia menuturkan.
Semua yang tidak bisa beradaptasi pasti akan kalah. Perusahaan sebesar Yahoo yang pernah jadi raja di masa lalu saja bisa jatuh. "Muncul pesaing baru yang tidak terduga. Dulu kalau kita bicara mobil itu produsennya BMW, Mercedes, dan sebagainya. Sekarang muncul Tesla, Apple dan Google mempersiapkan mobil. Pesaing baru ini siap mengambil alih segala sesuatunya," sambung CT.
Nantinya, toko-toko konvensional akan digilas oleh toko online yang lebih praktis dan mudah diakses dari mana saja. Adaptasi untuk menghadapi persaingan di era internet harus didorong dari sekarang. Kalau tidak, toko-toko di pinggir jalan akan bangkrut dan menimbulkan masalah baru, yaitu lonjakan kemiskinan.
Perlu ada langkah antisipasi untuk menjawab tantangan zaman. "Semakin banyak pekerjaan akan hilang karena diotomasi, orang jadi lebih sedikit diperlukan. Siapkah kita mempersiapkan lapangan kerja baru untuk mereka?" papar CT.(*)
Sumber: klik di sini
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 144 database, klik di sini
** Butuh 18 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
*** Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
*** Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
**** Butuh copywriter specialist, klik di sini
***** Butuh content provider, klik di sini
Komentar
Posting Komentar