Mafia Impor Disebut Dalangi Impor APD, Industri Lokal Merana
Carut-marut penanganan COVID-19 kembali mengemuka setelah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim bahwa industi tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tidak mampu memenuhi kebutuhan alat pelindung diri (APD). Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi menyebutkan mafia impor kembali berulah, melakukan penetrasi lobi untuk memasukkan barang impor sehingga kembali membuat industri TPT nasional gigit jari.
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas garmen dan IKM konveksi yang mencapai 2,5 juta ton per tahun atau sekitar 600 juta potong per bulan sudah sangat bisa memenuhi kebutuhan APD terutama Hazmat dan Gown yang diperkirakan mencapai hanya 10 juta potong per bulan. “Bahkan untuk bahan baku dari kain, benang, hingga seratnya juga bisa kita bisa penuhi dari dalam negeri yang kapasitasnya rata-rata di atas 2,5 juta ton per tahun,” kata Suharno dalam keterangan tertulis yang diterima Duniaindustri.com di Jakarta, Jumat (15/5).
Kemenkes mempersyaratkan bahan baku spunbond non-woven agar impor dapat masuk dengan leluasa. “Padahal bahan APD berbahan baku woven atau kain tenun yang kita develop bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah dites dilab uji Balai Besar Tekstil (BBT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan hasilnya sudah memenuhi standar Hazmat dan Gown dari WHO, harganya lebih murah, dipakainya lebih aman dan nyaman,” jelas Rusdi.
Berdasarkan pengkajian keahlian tekstil di IKATSI, untuk water and blood penetration bahan woven dan non woven kemampuannya sama karena menggunakan teknologi coating atau laminasi yang sama. Namun bahan woven lebih tahan sobek, lentur dan breathable dibandingkan dengan bahan non-woven sehingga lebih aman dan nyaman ketika dipakai oleh tenaga kesehatan. “Woven harganya jauh lebih murah, karena non-woven spunbond menggunakan bahan Polyprophilene yang harganya naik hampir 2 kali lipat karena digunakan juga sebagai bahan baku masker,” papar Rusdi.
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas produksi non-woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya untuk sekitar 1 juta potong perbulan, kalau dari bahan woven kemampuan suplainya bisa lebih dari 375 juta potong APD perbulan. “Makanya jangan kaget kalau banyak produsen maksa untuk ekspor APD, karena stok dilokal banyak,” ungkap Rusdi. “Dan kalau ada produsen lokal yang klaim bisa suplai APD dari non woven lebih dari 1 juta perbulan, harus diteliti lagi, karena pasti campur dengan APD impor, itu calo (mafia impor) berkedok produsen yang punya izin produksi, izin edar sekaligus izin impor,” tambahnya.
“Kondisi ini sebagai jawaban dari Menteri BUMN tentang ketergantungan kita terhadap alat kesehatan (alkes) impor, karena memang produsen lokal selalu dipojokkan oleh barang impor (mafia impor) sehingga produsen enggan untuk melakukan produksi dan memilih menutup pabriknya,” jelas Rusdi. “Begitu kuatnya penetrasi para mafia impor ini seharusnya jadi perhatian penegak hukum seperti kasus 27 kontainer tekstil di Batam,” pungkasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menkonfirmasi bahwa pihaknya memproduksi APD khususnya Hazmat dan Gown atas arahan BNPB terkait standarnya agar memenuhi kriteria WHO. Anggota APSyFI mensuplai serat, benang, hingga kain woven-nya, sedangkan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memproduksi kain dan garmennya. “Jadi dengan arahan dari BNPB, dari hulu ke hilir langsung kami kerjakan pembuatan APD sesuai standar WHO, karena kami dengar tenaga medis dilapangan kekurangan APD. Terlebih digudang-gudang kami banyak stok kain dan benang jadi pengerjaannya lebih cepat,” jelas Redma.
Saat ini beberapa anggota API dan APSyFI merasa kecewa karena pemerintah tidak menyerap produk APD yang mereka kerjakan dengan alasan memprioritaskan bahan non-woven spund bond yang hanya dapat 1 kali pakai lalu dibuang. “Padahal, di tengah pandemi COVID-19 ini, produksi APD bisa membantu kondisi keuangan perusahaan terutama untuk membayar gaji karyawan, walau pun ini hanya sekitar 3%-5% dari total produksi yang biasa dilakukan dalam keadaan normal,” ungkap Redma.
Di balik produksi APD ini juga ada ribuan tenaga kerja dan puluhan perusahaan yang terlibat. “10 juta potong APD per bulan itu dikerjakan oleh 15 ribu orang di garment, 10 ribu orang untuk produksi 30 juta meter kain, dan 7 ribu orang untuk produksi 2500 ton benang dan 5 ribu orang untuk produksi 2500 ton serat, jadi total 37 ribu tenaga kerja di sekitar 20 perusahaan,” jelas Redma. “Kalau dipenuhi oleh impor, berapa tenaga kerja yang terlibat? berapa devisa yang terbuang?” tanya Redma.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil menyatakan bahwa pihaknya masih berharap agar pemerintah dapat menyerap APD lokal. Karena meskipun hanya sekitar 5% dari produksi normal, setidaknya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang sedang kesusahan dimasa pendemi ini. “Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu harus terimplementasi, bukan sekadar lips service saja,” tuturnya.(*/tim redaksi 09 & 10/Safarudin/Indra)
Sumber: klik di sini
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas garmen dan IKM konveksi yang mencapai 2,5 juta ton per tahun atau sekitar 600 juta potong per bulan sudah sangat bisa memenuhi kebutuhan APD terutama Hazmat dan Gown yang diperkirakan mencapai hanya 10 juta potong per bulan. “Bahkan untuk bahan baku dari kain, benang, hingga seratnya juga bisa kita bisa penuhi dari dalam negeri yang kapasitasnya rata-rata di atas 2,5 juta ton per tahun,” kata Suharno dalam keterangan tertulis yang diterima Duniaindustri.com di Jakarta, Jumat (15/5).
Kemenkes mempersyaratkan bahan baku spunbond non-woven agar impor dapat masuk dengan leluasa. “Padahal bahan APD berbahan baku woven atau kain tenun yang kita develop bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah dites dilab uji Balai Besar Tekstil (BBT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan hasilnya sudah memenuhi standar Hazmat dan Gown dari WHO, harganya lebih murah, dipakainya lebih aman dan nyaman,” jelas Rusdi.
Berdasarkan pengkajian keahlian tekstil di IKATSI, untuk water and blood penetration bahan woven dan non woven kemampuannya sama karena menggunakan teknologi coating atau laminasi yang sama. Namun bahan woven lebih tahan sobek, lentur dan breathable dibandingkan dengan bahan non-woven sehingga lebih aman dan nyaman ketika dipakai oleh tenaga kesehatan. “Woven harganya jauh lebih murah, karena non-woven spunbond menggunakan bahan Polyprophilene yang harganya naik hampir 2 kali lipat karena digunakan juga sebagai bahan baku masker,” papar Rusdi.
Rusdi menjelaskan bahwa kapasitas produksi non-woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya untuk sekitar 1 juta potong perbulan, kalau dari bahan woven kemampuan suplainya bisa lebih dari 375 juta potong APD perbulan. “Makanya jangan kaget kalau banyak produsen maksa untuk ekspor APD, karena stok dilokal banyak,” ungkap Rusdi. “Dan kalau ada produsen lokal yang klaim bisa suplai APD dari non woven lebih dari 1 juta perbulan, harus diteliti lagi, karena pasti campur dengan APD impor, itu calo (mafia impor) berkedok produsen yang punya izin produksi, izin edar sekaligus izin impor,” tambahnya.
“Kondisi ini sebagai jawaban dari Menteri BUMN tentang ketergantungan kita terhadap alat kesehatan (alkes) impor, karena memang produsen lokal selalu dipojokkan oleh barang impor (mafia impor) sehingga produsen enggan untuk melakukan produksi dan memilih menutup pabriknya,” jelas Rusdi. “Begitu kuatnya penetrasi para mafia impor ini seharusnya jadi perhatian penegak hukum seperti kasus 27 kontainer tekstil di Batam,” pungkasnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menkonfirmasi bahwa pihaknya memproduksi APD khususnya Hazmat dan Gown atas arahan BNPB terkait standarnya agar memenuhi kriteria WHO. Anggota APSyFI mensuplai serat, benang, hingga kain woven-nya, sedangkan anggota Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) memproduksi kain dan garmennya. “Jadi dengan arahan dari BNPB, dari hulu ke hilir langsung kami kerjakan pembuatan APD sesuai standar WHO, karena kami dengar tenaga medis dilapangan kekurangan APD. Terlebih digudang-gudang kami banyak stok kain dan benang jadi pengerjaannya lebih cepat,” jelas Redma.
Saat ini beberapa anggota API dan APSyFI merasa kecewa karena pemerintah tidak menyerap produk APD yang mereka kerjakan dengan alasan memprioritaskan bahan non-woven spund bond yang hanya dapat 1 kali pakai lalu dibuang. “Padahal, di tengah pandemi COVID-19 ini, produksi APD bisa membantu kondisi keuangan perusahaan terutama untuk membayar gaji karyawan, walau pun ini hanya sekitar 3%-5% dari total produksi yang biasa dilakukan dalam keadaan normal,” ungkap Redma.
Di balik produksi APD ini juga ada ribuan tenaga kerja dan puluhan perusahaan yang terlibat. “10 juta potong APD per bulan itu dikerjakan oleh 15 ribu orang di garment, 10 ribu orang untuk produksi 30 juta meter kain, dan 7 ribu orang untuk produksi 2500 ton benang dan 5 ribu orang untuk produksi 2500 ton serat, jadi total 37 ribu tenaga kerja di sekitar 20 perusahaan,” jelas Redma. “Kalau dipenuhi oleh impor, berapa tenaga kerja yang terlibat? berapa devisa yang terbuang?” tanya Redma.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil menyatakan bahwa pihaknya masih berharap agar pemerintah dapat menyerap APD lokal. Karena meskipun hanya sekitar 5% dari produksi normal, setidaknya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang sedang kesusahan dimasa pendemi ini. “Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu harus terimplementasi, bukan sekadar lips service saja,” tuturnya.(*/tim redaksi 09 & 10/Safarudin/Indra)
Sumber: klik di sini
Mari Simak Coverage Riset Data Spesifik Duniaindustri.com:
Market database
* Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 181 database, klik di sini
Manufacturing data
Market research data
Market leader data
Market investigation
Market observation
Market intelligence
Monitoring data
Market Survey/Company Survey
Multisource compilation data
Market domestic data
Market export data
Market impor data
Market directory database
Competitor profilling
Market distribution data
Company database/directory
Mapping competition trend
Profiling competitor strategy
Market data analysist
Historical data
Time series data
Tabulation data
Factory directory database
Market segmentation data
Market entry strategy analysist
Big data processor
Financial Modeling/Feasibility Study
Price trend analysist
Data business intelligence
Customized Direktori Database
** Butuh competitor intelligence, klik di sini
*** Butuh copywriter specialist, klik di sini
**** Butuh content provider (branding online), klik di sini
***** Butuh jasa medsos campaign, klik di sini
Database Riset Data Spesifik Lainnya:
- Butuh data spesifik atau riset pasar, total ada 181 database, klik di sini
- Butuh 24 Kumpulan Database Otomotif, klik di sini
- Butuh 18 Kumpulan Riset Data Kelapa Sawit, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Semen dan Beton, klik di sini
- Butuh 8 Kumpulan Riset Data Baja, klik di sini
- Butuh 15 Kumpulan Data Transportasi dan Infrastruktur, klik di sini
- Butuh 9 Kumpulan Data Makanan dan Minuman, klik di sini
- Butuh 6 Kumpulan Market Analysis Industri Kimia, klik di sini
- Butuh 3 Kumpulan Data Persaingan Pasar Kosmetik, klik di sini
- Butuh competitor intelligence ataupun riset khusus (survei & observasi), klik di sini
- Butuh copywriter specialist, klik di sini
- Butuh content provider (online branding), klik di sini
- Butuh market report dan market research, klik di sini
- Butuh perusahaan konsultan marketing dan penjualan, klik di sini
- Butuh menjaring konsumen korporasi dengan fitur customized direktori database perusahaan, klik di sini
Komentar
Posting Komentar